Tahun ajaran baru segera tiba para siswa sekolah dasar(SD/sekolah menengah pertama(SMP) berbondong-bondong mencari sekolah favoritnya, ada yang mau masuk SMA yang notabenya adalah berprestasi ada juga yang masuk sekedar karena memang tidak diterima disana sini, atau ibaratnya tempat pembuang akhir siswa(TPS).
Sangat jelas terlihat animo masyarakat untuk memasukan anaknya ke sekolah madrasah sangat rendah.
Problema besar pertama yang dihadapi madrasah di Indonesia sekarang ini adalah belum optimalnya tingkat favoritas masyarakat terhadap lembaga madrasah itu sendiri. Hal ini memang kenyataan. Jangankan madrasah menjadi pilihan utama bagi masyarakat, untuk memadrasahkan (menyekolahkan) putra-putri atau istilah menterengnya menjadi institution of choice saja belum banyak muncul, sedangkan anggota masyarakat yang sama sekali belum mengenal madrasah pun masih banyak. Ini lucu karena eksistensi madrasah di Indonesia setidaknya sudah puluhan tahun. Jadi, tidak dapat disebut ‘bayi’ kemarin sore.
Memang benar di kalangan tertentu, terutama kalangan pesantren, minat masyarakat terhadap madrasah sangat tinggi dan angka statistik pun telah menunjukkan tingginya jumlah madrasah di Indonesia. Meski demikian secara nasional tingkat favoritas masyarakat kita terhadap madrasah lebih rendah dibanding sekolah pada umumnya.
Problema besar kedua menyangkut lebih rendahnya prestasi akademis ilmu umum siswa madrasah dibanding siswa sekolah. Sependapat atau tidak, banyak warga madrasah yang membedakan pengetahuan, ilmu, dan keterampilan menjadi dua; yaitu ilmu umum (seperti matematika, kimia dan teknologi informasi (TI) serta ilmu agama (seperti membaca Alquran, memahami Hadis, dan Fiqih ataupun Akidah Akhlaq. Secara hipotetik lebih rendahnya prestasi akademis ilmu umum siswa madrasah dibanding siswa sekolah inilah yang menyebabkan lebih rendahnya tingkat favoritas masyarakat terhadap madrasah dibanding terhadap sekolah.
Kenapa hal itu terjadi? Ini muncul karena kurikulum madrasah hanya berisikan 70 persen ilmu umum, sedangkan kurikulum sekolah berisi 100 persen ilmu umum dengan asumsi mata pelajaran pendidikan agama dikecualikan.
Sebenarnya pencapaian nilai ujian nasional (NUN) madrasah cukup membanggakan. Ilustrasi riilnya sebagai berikut. Secara nasional pencapaian rata-rata NUN tertinggi tahun 2006 untuk SMA program IPA sebesar 28,97 oleh SMA Negeri 1 Bangil Pasuruan, untuk MA program IPA sebesar 27,57 oleh MA Ibarurrahman Stabat. Peringkat kedua sebesar 28,38 untuk SMAN Genteng dan 27,21 untuk MA Jeumala Amal. Peringkat ketiga sebesar 28,33 oleh SMA Negeri 1 Pandaan dan 27,10 oleh MA Negeri Bangkalan, dan seterusnya. Untuk SMA dan MA jurusan IPS dan bahasa petanya sama saja. Demikian pula untuk SMP dan MTs.
Pencapaian rata-rata NUN siswa madrasah memang lebih rendah daripada siswa sekolah, tetapi terpautnya relatif kecil. Sebenarnya hal ini membanggakan bagi madrasah mengingat substansi ilmu umum di dalam kurikulum madrasah hanya 70 persen. Apakah masyarakat kita dapat memahami kebanggaan tersebut? Pada umumnya tidak!
Mereka tahunya pencapaian prestasi akademis siswa madrasah lebih rendah daripada siswa sekolah. Bagi insan madrasah, memang hal ini terasa pahit, tetapi harus dapat diterima.
Solusi kreatif
Bagaimana memecahkan problema besar kemadrasahan tersebut? Ada beberapa cara yang perlu dipertimbangkan. Cara yang paling konvensional adalah menyampaikan ilmu umum yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan ilmu agama. Cara ini bagus, tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang diasramakan alias dipondokkan.
Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya mampu menjalankan cara ini secara produktif. Namun, pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan.
Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method), meningkatkan mutu guru (teacher quality), atau melengkapi sarana dan fasilitas belajarnya (facility). Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Tetapi, lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan cara konvensional dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.
Apakah ada SDM di madrasah yang dapat menjalankan cara tersebut di atas? Tentu saja ada, bahkan banyak! Masalahnya di madrasah itu sendiri banyak mutiara terpendam yang belum digali, diasah, dan dimanfaatkan potensinya.
Solusi kreatif
Bagaimana memecahkan problema besar kemadrasahan tersebut? Ada beberapa cara yang perlu dipertimbangkan. Cara yang paling konvensional adalah menyampaikan ilmu umum yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan ilmu agama. Cara ini bagus, tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang diasramakan alias dipondokkan.
Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya mampu menjalankan cara ini secara produktif. Namun, pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan.
Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method), meningkatkan mutu guru (teacher quality), atau melengkapi sarana dan fasilitas belajarnya (facility). Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Tetapi, lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan cara konvensional dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.
Apakah ada SDM di madrasah yang dapat menjalankan cara tersebut di atas? Tentu saja ada, bahkan banyak! Masalahnya di madrasah itu sendiri banyak mutiara terpendam yang belum digali, diasah, dan dimanfaatkan potensinya.(*osisman1/depag
Posting Terakhir
Selasa, 23 Juni 2009
Problema Besar Madrasah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar